Sabtu, 04 September 2010

Pejabat


By Dadan Hudaya
Bayangan berkelebat di tahun 2006. Wajah-wajah pejabat itu aku ingat semua. Aku ingat-ingat namanya. Aku hafalkan kata-katanya. Aku perhatikan kendaraannya. Kebiasaan-kebiasaan hingga ungkapan-ungkapannya di hadapan keramaian si pemburu berita. Ya, saat itu, aku masih menjadi seorang wartawan di harian Banten Raya Post.
Gubernuran Banten. Bayangan itu juga membuat aku terjaga. Badak besi yang tiada lelah menanti di pelataranmu. Pintu-pintu raksasa yang berderit, bergetar, lalu kasar saat kau ada yang membuka. Serta semilir angin dingin dari piranti berlistrik mengelus keringat yang mulai membintik. Luas, megah, wangi, terang.
Kursi-kursi itu empuk. Melambai ke setiap mata yang mencarinya. Lambaian itu tak diharaukan karena pejabat-pejabat itu berkumpul. Terkekeh. Serius. Mungkin mereka sedang membicarakan rakyat yang terbelit hutang. Atau soal harga minyak tanah yang mencekik rakyat. Atau bicara solusi atas banjir yang menggenangi wilayah cekungan sungai. Ah, mereka pasti sedang berniat membela anak-anak petani miskin yang tidak bisa bersekolah. Atau bisa juga sedang menghitung cara agar pupuk itu mudah diperoleh petani. Mungkin.
Enam pintu raksasa lain menatap. Dia menatapku tajam. Bengis. Lalu berkata-kata tentang kepentingan kedatanganku. Lalu mengusirku dengan jawaban bahwa majikannya sibuk. Sibuk mengurus tulisan-tulisan yang berlogo dan berangka-angka. Tak ada waktu untuk memberi informasi seucap pun. Tidak ada.
Si mata kecil di bawah patung burung itu melirik-lirik. Matanya merah menyala. Mengintai dan terus mengintai. Maaf, aku menginjak karpet tebal yang begitu lembut. Mungkin ada kotoran di setiap langkahku. Tiang bendera terlihat kokoh berdiri.
Pejabat itu duduk di mobil-mobil mewan. Altis, Innova, atau Avanza. Sibuk. Melayani rakyat juga melayani pimpinan, Sang Ratu!
Cinagara, 5 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar