Jumat, 10 September 2010

Dua Pemburu


By. Dadan Hudaya

Sepuluh hari menjelang berakhirnya Ramadhan banyak orang berburu di siang hari dan malam hari. Mereka memfokuskan diri sekuat tenaga untuk meraih apa yang diinginkannya. Tujuan mereka juga berharap tidak rugi saat Ramadhan meninggalkannya. Kebahagiaan, meski relatif, menjadi cita-citanya.

Hanya saja, ada beda di antara para pemburu itu. Satu jenis pemburu menjalankan aksinya di siang hari. Mereka memburu materi. Karena memang cita-citanya hanya ingin bahagia berdasarkan materi. Merekalah yang disebut dengan pemburu THR alias tunjangan hari raya. Jumlahnya banyak sekali. Sering berkeliaran di instansi-instansi pemerintah. Ada yang membawa proposal juga ada hanya mengandalkan secarik surat. Entah itu surat jalan dari RT atau kepala desa. Atau ada juga yang nekad tanpa membawa apa-apa. Senjatanya adalah kekuatan lisan saja. Dia datang ke resepsionis, bertanya ruangan pejabat yang diketahuinya, lalu ketuk pintu. Kalau pejabat yang dimaksud ada berarti rizki untuknya, jika tidak ada maka setiap pintu dia akan ketuk, terus berkeliling. Sampai apa yang diburunya diperoleh dalam genggaman.

Anehnya, sejak 20 Ramadhan lalu, pemburu-pemburu ini tidak habis-habis. Datang dan datang lagi. Memang berasal dari berbagai kalangan. Akibatnya, kinerja instansi tidak maksimal. Para pegawai, pejabat, atau pimpinan terganggu untuk melayani mereka. Bagaimana mau menandatangi surat-surat penting dengan khusyu, jika di hadapannya telah berkumpul para pemburu THR dengan menengadahkan tangan. Bahkan tangannya itu hampir mencolok mata.

Sedangkan pemburu kedua beraksi di malam hari. Mereka berburu demi kemuliaan hidup. Meski yang diburu tidak pernah tampak kasat mata tetapi semangat yang terpatri tidak pernah padam. Karena mereka yakin buruannya akan mendatangkan kebaikan. Kebaikan yang setara dengan 1.000 bulan. Ya, merekalah pemburu lailatul qodar yang tak terpejam matanya sedetik pun hingga fajar.

Jumlah mereka mungkin lebih sedikit dibanding pemburu di siang hari. Tetapi, apa yang diraihnya tentu akan lebih banyak, sekali lagi, sangat lebih banyak di banding pemburu di siang hari. Pancaran di wajahnya pun lebih cerah. Mereka akan terus bahagia meski Ramadhan telah lama berlalu. Mereka akan selalu merasa memiliki buruannya hingga akhir hayatnya kelak.

Lalu, adakah pemburu dengan dua buruan?  (*)

Baitul Hamdi, 08.09.2010 pk. 04.38

Sabtu, 04 September 2010

Pejabat


By Dadan Hudaya
Bayangan berkelebat di tahun 2006. Wajah-wajah pejabat itu aku ingat semua. Aku ingat-ingat namanya. Aku hafalkan kata-katanya. Aku perhatikan kendaraannya. Kebiasaan-kebiasaan hingga ungkapan-ungkapannya di hadapan keramaian si pemburu berita. Ya, saat itu, aku masih menjadi seorang wartawan di harian Banten Raya Post.
Gubernuran Banten. Bayangan itu juga membuat aku terjaga. Badak besi yang tiada lelah menanti di pelataranmu. Pintu-pintu raksasa yang berderit, bergetar, lalu kasar saat kau ada yang membuka. Serta semilir angin dingin dari piranti berlistrik mengelus keringat yang mulai membintik. Luas, megah, wangi, terang.
Kursi-kursi itu empuk. Melambai ke setiap mata yang mencarinya. Lambaian itu tak diharaukan karena pejabat-pejabat itu berkumpul. Terkekeh. Serius. Mungkin mereka sedang membicarakan rakyat yang terbelit hutang. Atau soal harga minyak tanah yang mencekik rakyat. Atau bicara solusi atas banjir yang menggenangi wilayah cekungan sungai. Ah, mereka pasti sedang berniat membela anak-anak petani miskin yang tidak bisa bersekolah. Atau bisa juga sedang menghitung cara agar pupuk itu mudah diperoleh petani. Mungkin.
Enam pintu raksasa lain menatap. Dia menatapku tajam. Bengis. Lalu berkata-kata tentang kepentingan kedatanganku. Lalu mengusirku dengan jawaban bahwa majikannya sibuk. Sibuk mengurus tulisan-tulisan yang berlogo dan berangka-angka. Tak ada waktu untuk memberi informasi seucap pun. Tidak ada.
Si mata kecil di bawah patung burung itu melirik-lirik. Matanya merah menyala. Mengintai dan terus mengintai. Maaf, aku menginjak karpet tebal yang begitu lembut. Mungkin ada kotoran di setiap langkahku. Tiang bendera terlihat kokoh berdiri.
Pejabat itu duduk di mobil-mobil mewan. Altis, Innova, atau Avanza. Sibuk. Melayani rakyat juga melayani pimpinan, Sang Ratu!
Cinagara, 5 September 2010

Jumat, 03 September 2010

Semangat..!!!

Orangtua saya mengajarkan arti kata semangat. Katanya, semangat itu adalah energi terbesar yang harus dikelola dengan baik dan jangan sampai anjlok.Dengan semangat apa yang diinginkan oleh kita bisa tercapai. Katanya, semangat juga berarti cinta. Kita akan peduli dengan sesama. Kita juga memiliki empati yang baik. Karena sesuangguhnya semangat adalah cinta!

Lihatlah orang yang semangat. Mendekati hari raya ini, sangat banyak mereka yang bersemangat. Pedagang bersemangat berdagang. Pegawai bersemangat bekerja. Pemudik apa lagi. Tukang ojek tiap hari terjadwal bekerja.Petani apalagi. Dan banyak lagi. Mereka semua tidak melihat kondisi yang menimpa. Mereka fokus pada satu tujuan, bahwa apa yang dilakukannya bisa menghasilkan dengan hasil optimal.

Bayangkan kalau mereka malas-malasan. Jelas mereka terhimpit oleh orang-orang yang bersemangat. Tertinggal dan terus tertinggal. Mereka hanya memandang kehidupan di depan seolah itu-itu saja. Sehingga, gelora semangat yang ada di dalam dirinya minim.

Sahabat, sudahkah kita selalu menempatkan semangat sebagai energi bagi kehidupan kita? Jika belum, ayo kita sadari. Segera pacu adrenalin di dalam diri kita agar terus semangat, semangat, dan semangat. Lakukan hal terbaik di kehidupan kita ini. Hidup tidak akan datang dua kali. Matahari tidak akan mundur ke belakang. Semangat-semangat dan semangat. (*)

PR Besar, Siapa Takut!

Ada tiga tugas besar yang harus ditangani serius mulai saat ini hingga masa mendatang. Pertama, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi telah menginvestasikan domba sebanyak 27 ekor. Jelas ini harus dipelihara dengan manajemen yang baik. Harus ditegaskan kepada pegawai agar pemberian pakan tidak sembarangan. Penyakit harus segera ditangani dengan baik. Keamanan juga jelas harus diperketat. Akhir-akhir ini kejahatan membabi buta. Di kampung-kampung, pemilik kerbau khawatir pencuri datang dan langsung menyembelih kerbaunya di kandang atau di tempat lainnya.

Kedua, jamur. Budidaya ini harus tetap berjalan dengan manajemen yang ketat. Perlu dipilih orang-orang yang tidak malas dan mau bekerja keras. Sehingga, target harian bisa tercapai. Setahun ini seolah pembelajaran. Banyak kegagalan, dan harus segera diberhentikan. Dicari akar masalahnya untuk ditemukan solusi. Sebenarnya sudah. Solusinya, harus ada tim 3 orang yang serius harian berkerja di sana.

Ketiga, PUAP. Karena bertugas sebagai penyuluh pendamping, maka harus memenuhi segala prosedur yang telah ditetapkan. Dana Rp 100 juta yang akan digulirkan jangan sampai sia-sia. Dana itu harus berarti lebih dari sekali. Karena itu, perlu keterbukaan yang baik, perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang tangguh. Jangan sampai sepeserpun tidak bisa dipertanggungjawabkan gapoktan sebagai penerima. Gapoktan harus memiliki visi tentang pengelolaan dana itu. Apalagi penyuluh pendampingnya. Jika gagal, gawat. Bukan hanya di dunia, akhirat juga pasti akan mempertanyakannya.

Tantangan tidak pekerjaan di depan ini cukup besar. Dan berkaitan dengan orang-orang besar. Amanah sudah terikat. Dan harus dengan baik melaksanakannya. Saya berdoa, semoga Allah SWT memberikan kemudahan dalam pengelolaan pekerjaan yang hendak dilakukan. Amin! (*)

Inspirasi di BBPKH Cinagara

Sore di Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan (BBPKH) Cinagara, Bogor, cukup dingin. Angin sepoi yang melaju dari arah timur cukup membuat badan ini sedikit menggigil. Sejumlah teman yang ikut pelatihan di sini juga merasakan hal yang sama. Terlihat dari tangan-tangan mereka yang didekapkan di depan dada.
Suasana dingin begini langsung saja pikiran berada di rumah. Teringat si kecil Khansa, De Aisyi dan Teh Aza. Tiga bidadari yang selalu menghiburku. Mereka yang menjadikan saya kuat. Mereka adalah inspirasi di setiap waktu. Sedang apa di sana? Mereka pasti rindu seperti Abinya yang rindu mereka. Saat di tinggal 2 hari lalu, bertiga dalam kondisi sakit panas. Saya hanya bisa titip pesan sama istri tercinta, jaga anak-anak. Berikan obat yang sudah di beli. Lalu, lambaian lembut tangan itu mengiringku pergi ke Bogor ini. Beberapa hari menjelang Lebaran ini saya harus terpisah dengan mereka. Biasanya buka dan sahur bersama penuh dengan keramaian akibat polah tiga bidadari itu, tapi kali ini suasana itu menghilang.
BBPKH cukup luas. Di sebelah timur ada 3 kandang sapi perah dengan kapasitas masing-masing kandang sampai 30 ekor. Di sebelah atas kandang sapi, berdiri kandang ayam negeri. Di sebelah Barat, ternak domba hingga aneka ayam ada di sana. Namun, karena mungkin sudah lama, terlihatnya tidak menarik. Kandang-kandang ayam itu tidak menggugah pengunjung, misalnya saya, untuk tertarik memeliha. Jika orang mengatakan keunikan, nah di sini tidak ada yang unik.
Satu hal yang membuat semangat adalah pengajar di sini cerdas dalam berbisnis. Ada ibu Hj Elis Lasmini juga ada Pak Subadri. Dua orang ini, mungkin dari sekian banyak pegawai yang ada, bercerita tentang bisnis yang dilakukan. Bayangkan, Pak Subadri memiliki Sekolah Peternakan yang didalamnya terdapat domba sekitar 300ribu. Domba itu setiap tahun dikirim ke Malaysia untuk Kurban. Atau ada juga untuk domba guling. Berapa keuntungan yang diraupnya? Bisa diyangkan! Kalau Ibu Hj Elis, dia penulis peneliti sejati. Juga volunteer di masyarakat yang mengelola olahan hasil ternak. Dari ceritanya juga menggugah. Hal yang bisa dipetik adalah: belajar tiada henti dan jangan takut gagal. Satu hal lagi adalah, yakinkan diri bahwa kita bisa dan mampu melakukannya. Jelas, meski demikian kita juga mengukur dengan kapabilitas yang dimiliki. Jangan terlalu gegabah juga jangan terlalu pengecut. Lakukan sesuatu yang kita yakini bisa dan nikmatilah!
Saya yakin banyak pegawai di sini yang lebih inspiratif. Keyakinan saya itu mudah-mudahan tidak memudar meski saya tahu dan menyaksikan tentang pengelolaan tentang air bersih di sini yang kurang maksimal. Kemarin, sekitar 10 peserta di asrama bawah teriak-teriak meminta air untuk mandi. Lantaran, air bersih yang seharusnya mengucur ke bak-bak di kamarnya terhenti. Usut punya usut, saluran air dari sumber tertutup longsor sehingga terganggu. Yah! (*)

Senin, 16 Agustus 2010

Mencolek Ramadhan

Bismillahirohmanirrohim...

Sudah 6 hari kita berpuasa. Alhamdulillah lancar. Meski demikian ada unek-unek yang melanda hati. Yaitu tentang banyaknya orang-orang yang berpuasa tetapi hanya berpuasa saja. Auratnya terbuka. Bicaranya semau-mau hatinya. Aktivitasnya jauh dari taqorubilallah, mendekatkan diri kepada Allah.... Hati ini sedih. Dimana mereka yang selalu memberikan nasihat kepada orang-orang seperti itu. Dimana orangtuanya yang seharusnya lebih dulu memerhatikan anak-anaknya yang demikian...

Lihat saja. Jika di sore hari, dengan alasan ngabuburit, laki-laki berboncengan dengan perempuan di jalanan. Mereka mesra. Mereka anak-anak SMP atau SMA yang jelas belum menikah. Mereka bukan saling bersaudara karena berpegangan tangan. Cuek. Perempuan hanya mengenakan celana pendek, tertawa-tawa. Berseliweran. Lalu, bagaimana yang melihat aurat mereka. Satu orang, dua orang, seratus orang.... Mereka di mana-mana.

Ya Allah... Ramadhan yang Engkau sebut mulia dikotori orang-orang yang berhawa durjana. Ramadhan yang Engkau janjikan untuk menjadikan orang bertaqwa, hanya dihiasi orang-orang yang maunya mengumbar dunia sesaat...

Jika diibaratkan makanan, sesungguhnya Ramadhan ini seperti makanan yang lezat sekali. Penuh dengan taburan gizi dan protein tinggi. Tapi, sayangnya orang-orang hanya mau melihat saja. memandangi saja. Membayangkan saja. Mereka enggan mencolek Ramadhan. Mereka enggan mencicipi Ramadhan dengan suka hati. andai saja mau mencolek lalu memakannya dengan perasaan yang sempurna, jelas Ramadhan tidak akan pernah disia-siakan. Ramadhan akan disantap habis dengan aktivitas-aktivitas penuh makna. Sehingga benar-benar kita menjadi insan yang TAQWA... Hmmm, andai saja....

Wallahu'alam
Selamat Mencolek Ramadhan dengan COLEKAN yang DAHSYAT...

Sabtu, 24 Oktober 2009

Hizbut Tahrir Dan Sepuluh Burung

Hizbut Tahrir Dan Sepuluh Burung
“Satu burung di tangan lebih baik dari sepuluh burung di atas pohon.” Dengan kata kiasan ini telah menjadikan mudah bagi setiap pengemban misi untuk berpaling dari rel tujuan yang diinginkan menuju rel tujuan yang dipengaruhi oleh realitas dan tekanan yang sulit dihadapi dan dilaluinya.
Ketika didirikan gerakan, partai, atau jamaah apapun perlu menciptakan perubahan tertentu atau kebangkitan apa saja. Sedang langkah pertama yang harus diselesaikan oleh organisasi ini adalah langkah “menentukan tujuan”. Kemudian menentukan langkah kedua, yaitu “menentukan cara (metode) untuk mewujudkan tujuan”. Dengan ini, mulai tampak adanya perbedaan di antara berbagai jamaah dalam arus secara umum. Jadi, ada arus Islam, arus liberalisme, arus sosialisme, dan sebagainya.
Dan bahkan beberapa jamaah yang beraktivitas di arus yang sama sekalipun juga ada perbedaan di antara jamaah-jamaah itu. Jamaah-jamaah Islam misalnya, ada yang radikal, moderat, dan ada yang aktivitasnya terbatas pada urusan akhlak dan ibadah, sehingga satu sama lain tidak masuk klasifikasinya.
Pembicaraan kita hingga di sini masih pembicaraan untuk melihat fakta yang ada secara teori. Akan tetapi gambaran sebenarnya sering tidak sejalan dengan teori dan menyakitkan, yaitu adanya perbedaan antara tujuan dan metode jamaah ketika didirikan, dengan tujuan dan metode pada saat jamaah itu dibenturkan dengan berbagai tantangan dan hambatan.
Sebagian besar jamaah mengemukakan tujuan yang dapat dikatakan bahwa tujuannya sangat ideal. Namun, apabila metodenya mulai dibenturkan dengan berbagai tantangan dan hambatan, dan mulai dihadapkan dengan angin yang kencang maupun yang sepoi-sepoi, maka jamaah-jamaah itu mulai naik-turun antara madu yang dijanjikan dan api yang mengancamnya. Sehingga kita dapati jamaah-jamaah itu menerima satu burung yang di tangan, dan melupakan sepuluh burung yang di atas pohon, yang sebelumnya mereka pikirkan siang dan malam bahwa mereka tidak akan pernah menerima kecuali dengan mendapatkan semua burung.
Burung yang di tangan itu bisa berupa kursi menteri yang terbuat dari kulit buaya, atau kursi parlemen yang di dalamnya mereka turut menghabiskan waktunya siang dan malam untuk membuat undang-undang. Atau burung yang di tangan itu berupa lembaga sosial yang beraktivitas menyantuni para janda dan anak yatim. Untuk itu, mereka pun menghadiahi penguasa dengan doa yang baik agar mereka diizinkan mendirikan lembaga-lembaga sosial ini, atau mereka diberi izin mendirikan channel televisi yang tayanggannya menawarkan surga. Atau burung yang di tangan itu terkadang berupa kekuasaan bersenjata atas sebuah wilayah geografis yang luasnya hanya cukup untuk penduduk satu perkampungan di antara perkampungan di Kairo, dan terkadang burungnya lebih kecil atau lebih rendah dari semua itu. Sehingga kami hampir tidak salah ketika kami katakan bahwa ada sebagian dari jamaah-jamaah itu yang rela (puas) meski hanya mendapatkan satu bulu saja dari sayap burung itu. Begitu juga, tidak jarang jamaah-jamaah yang mengumumkan bahwa mereka menempuh metode Islam, namun ketika mereka telah menjadi perdana menteri, mereka mulai memintakan rahmat untuk sang penghancur negara Islam, Musthafa Kemal Ataturk laknatullah ‘alaih.
Ketika seseorang melakukan pengamatan terhadap gerakan-gerakan Islam, maka ia akan menemukan mereka semua rela (puas) hanya mendapatkan satu burung, atau sayap burung, bahkan kamu dapati mereka rela (puas) meski hanya mendapat satu bulu saja dari ekor burung. Untuk itu, sekarang kamu harus mengarahkan pandangan mata anda untuk meneliti Hizbut Tahrir.
Sebelum meneruskan pembicaraan tentang Hizbut Tahrir, maka saya tegaskan, sekali lagi saya tegaskan bahwa pembicaraan ini tidak saya tulis dalam rangka untuk pembelaan terhadap Hizbut Tahrir. Namun ini merupakan kenyataan sebenarnya yang saya ketahui sendiri, yang saya lakukan dengan berbagai media penelitian, sehingga ini murni jauh dari dorongan hawa nafsu dan emosional.
Sesungguhnya Hizbut Tahrir menolak logika “burung di tangan”. Hizbut Tahrir menolak mendapatkan kurang dari sepuluh burung yang di atas pohon. Bahkan Hizbut Tahrir mencari lebih banyak lagi burung-burung yang di atas pohon. Hizbut Tahrir menginginkan semua pohon dan semua burung yang ada di atasnya. Sebab, Hizbut Tahrir menilai bahwa mendapatkan sepuluh burung yang ada di atas pohon itu hanyalah titik sentral (nuqthah irtikaz) yang darinya akan dumulai perburuan semua burung yang banyak di atas pohon.
Sepuluh burung yang hendak didapat Hizbut Tahrir tercermin dalam ”penyatuan kaum Muslim dalam satu institusi politik yang akan menerapkan syariah Islam, dan menaklukkan negeri-negeri yang lainnya di dunia dengan jihad untuk menyebarkan Islam di tengah-tengah masyarakatnya. Inilah sistem Khilafah Islamiyah”.
Meskipun mereka yang menggunakan logika ”burung di tangan” senantiasa mencela tujuan Hizbut Tahrir yang sangat ideal ini, bahkan ada sebagian mereka yang berani menilai bahwa tujuan Hizbut Tahrir hanyalah ”mimpi” dan ”hayalan”. Namun Hizbut Tahrir sejak berdiri tahun 1953 M. di al-Quds (Yerusalim) hingga sekarang ini, Hizbut Tahrir tidak menampakkan penyimpangan sedikitpun dari tujuan yang telah ditetapkan untuk dirinya, yaitu mendapatkan sepuluh burung yang di atas pohon. Hizbut Tahrir tidak mau menerima hanya mendapat satu burung di tangan.
Yang lebih mengagumkan lagi jika kamu membaca sejarah perjalanan Hizbut Tahrir bahwa Hizbut Tahrir menempuh metode tertentu yang belum pernah berubah selama enam dekade perjalannya, yaitu metode politik yang menghantarkan pada terciptanya perubahan secara revolusi di tengah-tengah masyarakat. Hizbut Tahrir dalam melakukan aktivitasnya fokus pada dua poros utama:
Pertama, menyeru umat, melakukan penyebaran idenya, dan memasuki setiap persendian umat.
Kedua, menyerukan para pemilik kekuatan persenjataan (para pemimpin militer dan kepala suku), menyakinkan mereka untuk menguasai pemerintahan, dan memberikannya kepada Hizbut Tahrir.
Jadi di sana ada kekuatan yang tersimpam dalam diri Hizbut Tahrir yang bukan sekedar partai simbol dan publikasi. Sehingga Hizbut Tahrir menjadi sumber ketakutan dan kegelisahan yang menyelimuti para penguasa Barat dan Timur.
Hizbut Tahrir melakukan kontak dengan setiap elemen umat: para ulama, tokoh masyarakat, pemikir, ilmuwan, rektor, mendatangi berbagai universitas, sekolah, rumah, lembaga, masjid, gerakan, partai, dan banyak lagi yang lainnya.
Barangkali bukti nyata atas keberhasilan kontak yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir ini adalah Konferensi Ekonomi Internasional yang diadakan Hizbut Tahrir di awal tahun ini di Khurthum dengan menawarkan solusi problem ekonomi internasional. Di mana konferensi itu dihadiri sekitar 6.000 orang yang semuanya memperlihatkan puncak kekaguman dan dukungan terhadap ide yang ditawarkan Hizbut Tahrir yang semuanya bersadarkan pada dalil-dalil syariah.
Sedang contoh lainnya adalah Konferensi Ulama Internasinal yang juga diadakan oleh Hizbut Tahrir beberapa hari yang lalu (21 Juli 2009) di Indonesia, yang dihadiri oleh ribuan ulama yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Dua tahun sebelumnya Hizbut Tahrir juga mengadakan konferensi yang luar biasa gemanya di Jakarta pada tahun 2007 M. untuk mengenang runtuhnya Khilafah, dan konferensi dihadiri lebih dari 100.000 orang peserta.
Hizbut Tahrir sangat baik dalam melakukan kontak dengan menyampaikan semua harapan umat, dan menyakinkan mereka tentang pentingnya membuang logika ”burung di tangan”, dan menggantinya dengan prinsip ”tidak menerima kurang dari sepuluh burung yang di atas pohon”. Hizbut Tahrir sadar betul bahwa memburu sepuluh burung yang begerak di atas pohon bukanlah perkara yang mudah kecuali telah memiliki semua peralatan yang dibutuhkannya, seperti peralatan berburu, penembak yang jitu, dan kekuatan. Oleh karena itu, kami dapati Hizbut Tahrir memfokuskan seruan kepada para pemilik kekuatan persenjataan, yang biasanya mereka itu tercermin pada kalangan militer.
Barangkali saya tidak salah dan tidak berlebihan juga jika saya menilai bahwa Hizbut Tahrir suatu saat akan mendapatkan dukungan massa yang sangat luas sekali di seluruh belahan penjuru dunia Islam guna menyampaikan misi kepada para pemilik kekuatan yang subtansinya adalah ”apabila kalian menolong kami, maka merekalah orang pertama yang menghujani kebaikan”.
Kebanyakan individu masyarakat di saat sekarang ini, terkadang tidak mau bergabung dengan Hizbut Tahrir, terkadang untuk mendukung saja mereka takut, dan terkadang beberapa ide mereka bertentangan dengan ide Hizbut Tahrir. Namun di sana ada faktor umum, dan saya yakin semua sepakat dengannya, yaitu bahwa Hizbut Tahrir sejak saat didirikannya tidak menerima jika mendapatkan kurang dari sepuluh burung yang di atas pohon, dan Hizbut Tahrir tetap teguh dengan pilihannya ini. Dan semuanya akan benar-benar tampak jelas di masa mendatang. Sehingga tidak lama lagi kami akan mengundang ke sebuah pesta umat, yang di dalamnya kami akan mengundang Hizbut Tahrir untuk memakan sepuluh burung bahkan bisa lebih dari itu.

Sumber: al-aqsa dari www.qudsnet.com, 25/7/2009
Oleh: Raji al-Aqqabi